LEMBATA HARUS MENCARI PEMIMPIN BARU
(Dalam benak seorang mahasiswa asal lembata)
OLEH
PIUS APENOBE
8 april 2010
Sepenggal argumen singkat mengenai masalah
pemberlakuan komunikasi politik dalam konteks ilmu politik adalah semakin sulit
di terapkannya komunikasi politik itu dengan baik. Apakah disebabkan oleh
pemberian arti yang terlalu luas sehingga malah akan mengaburkan artinya? Bisa
saja seperti itu. Lembata, sebuah kabupaten yang baru otonomi sepuluh tahun
silam, menjadi contoh pemberlakuan komunikasi politik oleh penguasa/pemimpin
yang di nilai sangat tidak benar. Kesalahan pemimpin dalam memberlakukan
komunikasi politik itu sendiri menjadikannya tersohor di berbagai media. Konsep
komunikasi politik yang tumpang tindih seperti itu sangat tidak wajar untuk
seorang pemimpin.
Masalah di atas terlihat dalam ciri komunikasi politik
dimana adanya arus komunikasi politik dua arah yakni dari penguasa
politik/pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke penguasa politik/pemerintah.
Istilah kontrol save and kontrol delete to recycle bin, yang
selalu digunakan oleh penguasa atas aspirasi rakyat. Hal ini sangat jelas
digunakan oleh penguasa politik/pemerintah lembata. Banyak intelektual yang
menilainya sebagai pemimpin kapitalis, pemimpin yang otoriter, namun
penampilannya seolah – olah tidak mengetahui pujian bernoda tersebut.
Maksudnya semua aspirasi dari rakyat selalu tidak di
hiraukan, semuanya di tekan dengan gaya kapitalisnya itu. Masyarakat hanyalah
bakteri yang hidup dalam sampah kekuasaannya.
Gaya ORBA ini jelas tidak pernah hilang selagi lembata
di pimpinnya. Menjadi contoh konkret pemberlakuan PERDA no 12 tahun 2003 ada
item yang berbunyi tentang dilarang membangun jenis bangunan di jalur hijau.
LOPO miliknya dan JOBER (joing bersama), pertanyaan : kenapa sampai
di bangun di situ?. Masalah komunikasi politik di kaitkan dengan pengambilan
keputusan otoriter atas tambang emas yang akan di lakukan di lembata olehnya
menjadi bukti keotoriterannya itu. Proses sosialisasi politik yang merupakan
transmisi nilai – nilai politik sendiri tidak dilakukannya. Masalah
ketidakpercayaan dari masyarakat terhadapnya sudah diangkat menjadi bahan
diskusi oleh berbagai kalangan organisasi baik organisasi lokal maupun
nasional. Hal ini sudah terbukti lewat kritikan dari ASPAL (kumpulan organisasi
local asal lembata)melalui media surat kabar. Namun tanggapan baliknya di nilai
sangat kekanak – kanakan.
Kesimpulannya bahwa apa yang di harapkan dari seorang
pemimpin seperti itu? Tuntutan harus banyak dari berbagai kalangan masyarakat
atas tindakan yang sudah di luar jalur kewajaran. Hanya satu cara yang di
harapkan dari masyarakat lembata yakni adanya tindakan perubahan dari kaum
intelektual.
Penulis
Pius Apenobe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar